Add Me as A Friend in Facebook!

Senin, 29 November 2010

Awareness Evolution

To Reden my son; digest this slowly:

"Learn to become observant & watchful
Be a witness and don't concentrate, just..

Observe and watch, The more watchful that the observant become,
The internal chatter will become less and less..

A clear mind will bring peace and happiness;
And ultimately: enlightenment of 'the witness'

The awareness meditation:
First: to become aware of the body and the five senses. Then; expand the awareness to watch the thoughts... And go deeper; learn to observe the feelings and emotions. Finally, we begin to become aware of our own awareness. Becoming a witness, The Witness!

This is the insight. The primal awareness. The path of freedom. This is the real vipassana..."

The Meaning of Life

Selama kita hidup sebagai manusia,
Kita terus mencari makna: Apa arti hidup ini?

Namun adalah manusiawi;
Kita tak 'kan mampu menemukannya
Secara logika, manusia tak akan bisa

Manusia tak akan bisa mendapatkan makna
Pada alam semesta yang tiada bersuara...

Sungguh kontradiksi; konfrontasi filosofi ini
Antara pencarian arti, dan kehampaan jawaban
Ini adalah kemustahilan yang manusiawi: absurd!

Absurd seperti Tuhan,
Manusia tak 'kan mampu memahami-Nya. Lalu bagaimana kita bisa menjalani,
Hidup yang absurd ini?

Kita bisa mengakhirinya,
Namun bukankah sungguh absurd
Mengahiri hidup yang sudah absurd?

Kita juga bisa menyangkal yang absurd...

Kekosongan karena hidup yang absurd ini
Diisi dengan kepercayaan, agama, konsep
Yang pastinya abstrak dan irasional; pelarian
Dari absurd yang pasti, absurd yang mutlak

Lompatan iman ini adalah bunuh diri pikiran
Kita hanya membungkam yang rasional
Dengan keyakinan yang delusional

Lalu, bagaimana kita bisa bebas yang sebenarnya? Bahagia meski hidup ini absurd?

Dengan menerima yang absurd... Lalu kita bisa menciptakan makna tersendiri
Dan terus menjalani kehidupan, meski absurd

Keindahan yang hadir, cukuplah berharga
Biarlah nyawa ini kita jalani setiap harinya
Kehidupan yang tak bisa dicari maknanya
Biarlah secara subyektif kita beri artinya

Dari sinilah kebebasan umat manusia dimulai;
Menerima tanpa menyerah, tanpa berharap..

Tiada harapan bukan berarti berputus asa;
Kita bisa hidup sepenuhnya, tanpa harapan..

Jalani setiap momen, nikmati kekinian masa
Rayakan hidup tanpa perlu berharap apa-apa
Kalau berharap brarti menyangkal yang absurd

Tiada yang salah dan tiada yang benar secara pasti, segalanya yang ada hanya hidup yang absurd...

Tak perlu pasang moral yang tiada nyata itu
Cukuplah hidup dengan integritas yang tinggi
Jujur pada diri sendiri dan konsisten berbuat. Kebahagiaan ada dalam kebebasan
Dan kebebasan dimulai dari keikhlasan
Menerima absurd dan merayakan kehidupan

Lalu kedamaian akan tercipta dalam pencarian ini!

Rabu, 24 November 2010

Addiction and Escapism

Pernahkah Anda mengalami ini:
Bangun pagi di suatu hari dan menjalani keseharian. Namun berpikir ada yang aneh dengan hidup ini. Dunia dan realita terasa ada yang salah, yang tidak bisa dijelaskan, tapi tetap terasa. Ada kehampaan, kekosongan di dalam diri yang membutuhkan jawaban. Apa maksud dari semua ini? Mengapa kita ada? Tetapi untuk memikirkannya, amatlah sangat berat. Untuk menyelami diri dan merenungi segalanya, amatlah memusingkan. Belum lagi dengan banyaknya masalah, ketakutan, penyesalan, dll. Tak sangguplah berpikir mendalam. Cukup terima dogma yang ada. Dan menjauhi derita dengan bersenang-senang. Kesenangan yang tiada habisnya karena realita yang menyesakkan jiwa akan selalu ada. Terus mencoba mengalihkan pikiran dengan kenikmatan. Hingga kecanduan...

Kecanduan bukan sekedar masalah biologis melainkan psikologis juga. Mari kita analisa:

Kecanduan adalah pelarian,
Kecanduan adalah penghindaran,
Kecanduan adalah penyangkalan..

Seorang pecandu berlari dari kenyataan,
Seorang pecandu menghindari realita,
Seorang pecandu menyangkali dirinnya sendiri!

Pecandu tak bisa menghadapi: vicissitudes,
Kenyataan yang naik dan turun, ber-kelok2,
Realita yang membuatnya terombang-ambing.

Baginya, hidup dan kehidupan yang ada:
Memusingkan, melelahkan, menyusahkan
Kenyataan hidup adalah penderitaan (dukkha).

Kenyataan bahwa yang hidup pasti akan mati;
Mencemaskan! Belum lagi masa depan yang tak pasti: sakit dan penyakit, musibah dan bencana.

Namun kenyataan tak bisa dihindari;
Seberapapun banyak kesenangan yang dirasa
Meski hingga akhirnya kecanduan dan menimbulkan masalah tambahan;

Sang iblis tetap ada hingga akhir jaman...

Perasaan stress, sedih, kesepian, marah, atau cemas; mesti dihadapi. Diterima dengan kesadaran, jangan dialihkan dengan candu!

Belajar menerima realita,
Belajar menoleransi kenyataan,
Belajar menghadapi diri dan keadaan.

Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit.
Berjalan maju ke depan, terus bergerak meski perlahan... Yang penting ada perubahan dan kemajuan!

Berani ambil tanggung jawab,
Berani bersikap sabar dan toleran,
Berani memilih untuk menerima dan pasrah.

Pasrah, ikhlas, dan tetap aktif berusaha,
Hindari candu yang nikmat hanya sesaat dan sesat!

Kenyataan, realita kehidupan ada untuk diamati
Sadari prosesnya, amati diri, amati pikiran, amati perasaan, pada akhirnya kita akan bisa mengamati sang pengamat. Sadari inti diri ini dan kedamaian akan menyertai. Diamlah!

Diamlah dan amati... Masuk ke dalam hatimu,
Di bagian yang tergelap dan menakutkanmu,
Kehampaan dan kekosongan pada inti dirimu,

Kali ini, berani hadapi kenyataan dan berhenti menjadi pecandu, pelari dari masalah (kabur!)

Jangan kecanduan dengan suatu candu,
Atau tontonan (kecanduan menonton tv),
Atau kesenangan apapun yang nikmat sesaat.

Bahkan, jangan kecanduan berpikir!

Jumat, 12 November 2010

The Fallen Angel

Mengapa kita terjatuh?

Oleh karena kita berada pada ketinggian... Namun kita harus belajar,
Untuk terus bangkit kembali
Dan jangan sampai terjatuh lagi...

Kejatuhan mengingatkan kita
Untuk selalu eling dan waspada Penuh kesadaran serta berjaga-jaga

Ketinggian bisa menjatuhkan seperti:
Kepongahan mampu memalukan si congkak

Dengan jatuh, kita diingatkan,
Agar tidak lupa diri dan kematian

Tiada yang abadi, takkan slalu di atas
Segalanya bisa berubah, semuanya fana

Ternyata, kita tak bisa mengontrol segalanya
Bahkan, kita disini tidak untuk jadi pengendali

Kita hanya menjadi saksi dan menyadari
Bahwa kita bukanlah siapa-siapa... Lagi;

Kita di dunia ini hanya sementara
Mengapa melekat pada yang maya?

Jatuh... Tidak apa-apa!

Selasa, 09 November 2010

The Cessation of Suffering

Mengapa kita menderita?
Kita merana karena keinginan tidak sesuai kenyataan. Kita takut akan masa depan. Ada sesuatu yang mengancam. Kita menyesali apa yang telah terjadi yang telah memberikan kesusahan. Pikiran kita terus mengulang-ulang kepedihan yang sama: ketidaksesuaian harapan dengan realita.

Bagaimana kita terbebas dari penderitaan?
Kita tidak bisa. Kita manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Selama kita hidup di dunia ini, kita akan selalu memiliki kelemahan. Ketidaktahuan, kita tak bisa mengetahui segalanya. Penilaian, kita menjalani hidup dengan membanding-bandingkan. Kita bisa berjalan karena tahu mana yang panjang dan yang rendah. Pengukuran. Ilmu pengetahuan. Pikiran yang otomatis. Kita juga mengalami kekhawatiran. Kecemasan. Semua keputusan mengandung konsekuensi. Setiap pilihan memiliki dampak. Jalan manapun yang akan kita ambil, akan ada kerikilnya. Tikungan tajam. Naik dan turun. Seperti itulah kehidupan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Jalani. Hadapi setiap kejadian dan pemikiran. Perasaan dan peristiwa. Sabar. Tabah. Semua akan berlalu. Masa-masa senang? Nikmatilah. Saat-saat kesulitan? Amati dan ambil pelajarannya. Seperti roller coaster, begitulah kehidupan. Kadang naik, seringkali turun. Namun kala turun, tunggu saja, pasti akan dilewati dan kembali naik. Atau datar-datar saja, sama seperti kehidupan. Sehari-hari. Jalani saja, dan hari pasti akan berakhir. Apapun yang terjadi, hadapilah!

Bagaimana jika kita tidak kuat menahannya?
Kita bisa, hanya mungkin tidak tahu caranya. Penderitaan berasal dari pikiran. Jika kita tidak memiliki otak, tidak mungkin kita menderita, bahkan hidup. Kita tak bisa hidup tanpa otak kita. Tapi otak selalu mengulang-ulang pemikiran yang sama, seringkali malah membesar-besarkannya. ketakutan pada sesuatu yang belum terjadi. Terus terpikirkan. Penyesalan pada sesuatu yang tak bisa diubah. Makin teringat. Juga keinginan-keinginan yang berbeda dengan realita yang ada, menjadi sumber stres. Kita ada pada masa depresi menjadi penyakit yang umum. Yang bisa kita lakukan adalah; ikhlas, berbagi, dan optimis.

Bagaimana kongkritnya ikhlas, berbagi, optimis?
Ikhlas berarti pasrah dan menerima. Bukan berarti kita menyerah, hanya saja kita tidak terlalu melekat. Erat berharap padahal harapan itu tidak realistis. Apa yang sudah terjadi, terima saja jangan ditolak dan dihindari. Apa yang belum terjadi, barulah kita boleh berharap. Tapi harapan harus tetap realistis dan didekati dengan proaktif. Itulah yang disebut optimis. Nah, kalau berbagi bisa berupa bersosialisasi, atau sekedar menulis pada diri sendiri. Bisa mencurahkan isi hati dan membagikan beban berat di dada (pikiran yang sedih). Atau boleh juga diartikan berbagi dengan membantu orang lain. Dengan menolong orang lain, kita jadi mengalihkan fokus. Daripada memikirkan diri sendiri dan kepedihannya, kita bisa melupakan duka pribadi dengan memikirkan orang lain yang kesulitan. Dan aktif berbuat baik.

Kesimpulannya?
Jangan banyak berpikir. Khususnya memikirkan diri sendiri saja. Banyak-banyak bertindak. Aktif. Ketakutan, kekecewaan, kesedihan dan kemarahan hanyalah reaksi-reaksi kimia pada tingkat biologis. Pengaruhi reaksi-reaksi tersebut secara biologis-kimiawi juga. Makan, makanan yang enak dan nikmat, sehat dan bergizi. Ada banyak suplemen yang bagus. Olahraga juga baik. Berlarilah. Bermain bersama teman atau keluarga. Temui sahabat yang mau membantu. Atau terapis. Minum obat jika perlu. Cukup istirahat dan tidur. Lakukan hobi dan dengarkan musik. Hiduplah dengan aktif. Jangan berpikir terlalu panjang dan terlalu lama. Bantu saja orang lain. Ikuti kata hati nurani. Dan jika masih merana. Tunggu saja, segala reaksi kimia pasti ada akhirnya. Sabar sajalah!

Lalu sementara bersabar?
Meditasi. Berkontemplasi dan merenung dengan kebijaksanaan. Taklukkan pikiran dengan pengamatan. Dan pada akhirnya, kita semua akan sampai disana. Pemadaman dari segala penderitaan. Nibbana. Nirvana. Nir wana. Jannah. Surga. Moksha. Kembali pada-Nya, Yang Maha Ada dan Yang Maha Gaib. Yang Tiada...

Senin, 08 November 2010

Silent Faith

Kepercayaanku adalah diam...

Agamaku tanpa ayat, tanpa kata
Zikir tanpa zikir, japa tanpa mantra

Dengan diam ku bisa mendengarkan
Dengan diam ku dekati Kebijaksanaan

Tanpa berbicara, ku bisa lebih peka
Tanpa penilaian, ku bisa lebih terbuka

Bibir tertutup, telinga mengembang
Pikiran membisu, hati jadi pengertian

Ku siap mendengarkanmu dan Kamu
Ku mampu memahami kesejatian-Mu

Segala maksud terserap sempurna
Semua pengetahuan terpatri paripurna

Aku menuju bijaksana dalam kesunyian
Sungguh, ini adalah ritus dalam keyakinan

Pandanganku semakin bersih
Batin nuraniku semakin jernih

Jalanku menjadi terang, dengan berdiam..

Terjemahan:
Dunia semakin bising, setiap hari kita terekspos 3000 iklan perhari secara rata-rata*. Belum lagi suara-suara di luar diri kita; kata-kata yang terucap oleh orang-orang di sekitar kita, tulisan yang terbaca, pesan dari beragam media. Belum lagi, bunyi-bunyian yang bising tak berarti namun bisa menimbulkan banyak pemikiran. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana seseorang bisa mendengarkan Tuhannya? Bagaimana kita bisa mendengarkan suara hati-nurani kita?

Bahkan kita sulit menjadi pendengar yang baik untuk teman ngobrol kita. Di saat dia berbicara, kita mendengarkan sambil berpikir, sibuk dengan pikiran kita yang penuh penilaian, komentar, sortiran, dan filterisasi dengan beragam konsep yang kita miliki. Parahnya lagi, kita sering tidak mendengarkan dengan sempurna dengan tidak bisa berdiam. Kita menyela, menambahkan, menyanggah padahal teman kita itu, padahal dia belum selesai dengan omongannya. Bagaimana kita bisa mengisi diri kita dengan ilmu baru, jika kita sudah penuh dengan kerangka berpikir yang membatasi? Bagaimana kita mampu menerima pengetahuan lagi, jika kita memahami dengan telinga sempit dan otak yang picik?

Untuk menjadi lebih bijak, kita harus belajar diam. Untuk mendekati kesempurnaan, kita harus mempelajari Diam. Berdiam untuk menjadi pendengar, bukan diam karena marah, sedih, atau ngambek. Jangan berdiam karena emosi, tapi mari kita berdiam diri untuk mengendalikan emosi. Pikiran yang diam akan membuat perasaan yang tenang. Pertama-tama, kita berdiam diri dan membuka telinga lebar-lebar. Lalu secara mental kita diam dan jangan banyak berpikir. Terima saja dulu segala input ke dalam pikiran dengan terbuka, tanpa penilaian dan komentar secara mental. Bisakah kita mendengarkan dengan kepasrahan total seperti ini, tanpa perkataan dan tiada pikiran?

Dan akhirnya, jika kita sudah bisa mengheningkan pikiran, kita mulai mengheningkan hati/kalbu/roh/spirit apapun yang kita sebut yang berada di atas pikiran kita. Sang pengendali dan pemerhati, sang saksi bisu. Meski bisu, tapi kita harus sadari kebisuannya. Maka kita akan bisa mendengarkan Yang Maha Mendengarkan. Dia adalah si bisu juga, akhir dari dualisme. Yang ada dan Yang tiada adalah satu. Satu namun nol. Segalanya akan lenyap. Semuanya menjadi hampa. Kosong?

Alami misterinya sendiri, jangan banyak berteori dan terlalu berpegang (fanatis) pada tulisan serta kalimah meski itu ilahiah. Uji dan rasakan saja;
Diamlah!!!