
Kepercayaanku adalah diam...
Agamaku tanpa ayat, tanpa kataZikir tanpa zikir, japa tanpa mantra Dengan diam ku bisa mendengarkan
Dengan diam ku dekati Kebijaksanaan Tanpa berbicara, ku bisa lebih peka
Tanpa penilaian, ku bisa lebih terbuka Bibir tertutup, telinga mengembang
Pikiran membisu, hati jadi pengertian Ku siap mendengarkanmu dan Kamu
Ku mampu memahami kesejatian-Mu Segala maksud terserap sempurna
Semua pengetahuan terpatri paripurna Aku menuju bijaksana dalam kesunyian
Sungguh, ini adalah ritus dalam keyakinan Pandanganku semakin bersih
Batin nuraniku semakin jernih Jalanku menjadi terang, dengan berdiam.. Terjemahan:
Dunia semakin bising, setiap hari kita terekspos 3000 iklan perhari secara rata-rata*. Belum lagi suara-suara di luar diri kita; kata-kata yang terucap oleh orang-orang di sekitar kita, tulisan yang terbaca, pesan dari beragam media. Belum lagi, bunyi-bunyian yang bising tak berarti namun bisa menimbulkan banyak pemikiran. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana seseorang bisa mendengarkan Tuhannya? Bagaimana kita bisa mendengarkan suara hati-nurani kita? Bahkan kita sulit menjadi pendengar yang baik untuk teman ngobrol kita. Di saat dia berbicara, kita mendengarkan sambil berpikir, sibuk dengan pikiran kita yang penuh penilaian, komentar, sortiran, dan filterisasi dengan beragam konsep yang kita miliki. Parahnya lagi, kita sering tidak mendengarkan dengan sempurna dengan tidak bisa berdiam. Kita menyela, menambahkan, menyanggah padahal teman kita itu, padahal dia belum selesai dengan omongannya. Bagaimana kita bisa mengisi diri kita dengan ilmu baru, jika kita sudah penuh dengan kerangka berpikir yang membatasi? Bagaimana kita mampu menerima pengetahuan lagi, jika kita memahami dengan telinga sempit dan otak yang picik? Untuk menjadi lebih bijak, kita harus belajar diam. Untuk mendekati kesempurnaan, kita harus mempelajari Diam. Berdiam untuk menjadi pendengar, bukan diam karena marah, sedih, atau ngambek. Jangan berdiam karena emosi, tapi mari kita berdiam diri untuk mengendalikan emosi. Pikiran yang diam akan membuat perasaan yang tenang. Pertama-tama, kita berdiam diri dan membuka telinga lebar-lebar. Lalu secara mental kita diam dan jangan banyak berpikir. Terima saja dulu segala input ke dalam pikiran dengan terbuka, tanpa penilaian dan komentar secara mental. Bisakah kita mendengarkan dengan kepasrahan total seperti ini, tanpa perkataan dan tiada pikiran? Dan akhirnya, jika kita sudah bisa mengheningkan pikiran, kita mulai mengheningkan hati/kalbu/roh/spirit apapun yang kita sebut yang berada di atas pikiran kita. Sang pengendali dan pemerhati, sang saksi bisu. Meski bisu, tapi kita harus sadari kebisuannya. Maka kita akan bisa mendengarkan Yang Maha Mendengarkan. Dia adalah si bisu juga, akhir dari dualisme. Yang ada dan Yang tiada adalah satu. Satu namun nol. Segalanya akan lenyap. Semuanya menjadi hampa. Kosong? Alami misterinya sendiri, jangan banyak berteori dan terlalu berpegang (fanatis) pada tulisan serta kalimah meski itu ilahiah. Uji dan rasakan saja;
Diamlah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar